Cari...

Minggu, 27 Januari 2019

Cerpen Dibalik Hujan

Hujan. Jutaan anugerah yang turun dari langit. Hujan. Hapuskan air mata dalam kesedihan. Hujan. Mempertemukan beberapa insan dalam perteduhan. Hujan. Menghadirkan kebahagiaan dalam rasa gersang. Hujan. Sajikan alunan musik penyejuk hati.

Malam itu. Orang-orang di jalan berlari mencari tempat perteduhan agar tidak kehujanan. Hanya ada satu orang yang tidak berlari, tapi justru menikmati hujan. Orang dengan mata indah yang mencuri perhatian setiap pemuda yang melihatnya. Tanpa terkecuali Denis. Pemuda tampan dari Universitas Negeri Jakarta ini sengaja selalu ke stasiun setiap hujan hanya untuk melihat sang gadis pujaan. Dia tidak berani menghampiri gadis tersebut. Dia terlalu canggung untuk melakukannya.

“Kapan ya aku bisa berkenalan dengannya. Aku tidak mengenalnya, tapi dia berhasil membuatku tak bisa melupakannya. Andai waktu itu segera tiba. Waktu dimana kita bisa bersama.” Ucap Denis yang entah ditujukan pada siapa.

Siang ini kota Jakarta diguyur hujan. Cukup deras untuk menghapus tanda pejalan kaki dan kendaraan di jalan. Suara indah rintik hujan seolah menjadi alarm bagi Denis untuk menemui gadis pujaan. Denis segera berlari menuju stasiun dengan harapan bisa bertemu gadis dengan mata indah itu.

“Di mana gadis itu? Kenapa tidak ada? Apa dia hujan-hujanan di tempat lain? Atau dia sedang tertidur?” Lagi-lagi Denis bicara sendiri.

“Pak, Pak.. Tahu gadis yang biasa hujan-hujanan di sini ke mana gak, Pak?”

“Anggraini maksud kamu? Dia di rum
ah sakit.”

“Anggraini? Rumah sakit mana ya, Pak?”

“Di rumah sakit Mutiara Bakti”

“Terima kasih, pak atas informasinya. Maaf ganggu.”

Denis segera berlari menuju rumah sakit yang telah diberitahukan oleh pria yang ia temui tadi. Menerobos tirai hujan tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Sampai hampir saja ia tertabrak sebuah motor. Sesampainya di rumah sakit, Denis diusir oleh satpam karena pakaiannya yang basah.

“Saya mohon, Pak. Saya harus menemui seseorang di dalam sana,” Melas Denis.

“Gak bisa, dek. Sebaiknya kamu pulang dan ganti pakaian. Kamu bisa sakit kalau pakai pakaian basah,”

“Saya mohon, Pak”

“Gak bisa, dek. Cepat sana pulang.”

Seakan tak ada asa yang tersisa untuk menghibur hati tulus seorang Denis. Tak ada yang bisa mengerti dirinya sebaik dirinya sendiri. Denis terus berjalan dengan tatapan kosong di tengah derasnya hujan siang itu. Membiarkan tetes hujan menyentuh lembut wajahnya. Menghapus air mata yang tak bisa berhenti mengalir.

“Awas, Mas. Ada mobil..”

Tiinnn…

Telinganya tertutup. Mulutnya terbungkam. Tak ada yang bisa ia lakukan. Seakan jiwanya telah mati.

“Mas, Mas.. Bangun Mas.”

Tubuhnya beku. Hanya dinginnya tubuh seseorang yang mendekapnya yang ia rasakan. Tangan lembut menyentuh pipi tirus seorang Denis.

“Eungh..” Lenguh Denis saat sang mentari menerobos masuk dan mengganggu pandangannya.

“Kamu sudah sadar? Panasmu juga sudah turun. Syukurlah,”

Denis menatap heran seorang gadis di hadapannya. Gadis yang membuatnya seperti ini kini berada tepat di hadapannya.

“Saya Anggraini. Panggil saja Rain. Saya membawamu ke sini karena saya gak tahu di mana rumahmu. Saya juga gak mungkin membiarkanmu pingsan di jalan,”

Tak ada yang ke luar dari mulut Denis. Padangannya terfokus pada sosok di depannya. Membuat Rain merasa sedikit risih.

“Kamu kenapa?”

Lagi-lagi Denis tidak menyahut melainkan memeluk Rain. Membuat Rain semakin takut dengan Denis.

“Kamu kenapa bisa ada di sini? Bukannya kamu masuk rumah sakit?”

“Saya gak apa-apa. Saya emang dari rumah sakit. Tapi bukan karena saya sakit. Saya ke sana untuk menjenguk seorang wanita paruh baya yang kehilangan keluarganya.”

Denis merasa malu pada dirinya sendiri. Dia menjadi gila hanya karena hal yang tidak pernah terjadi.

“Oh ya. Aku Denis. Aku sering melihatmu hujan-hujanan di dekat stasiun sana. Tapi aku gak berani menghampirimu. Hehe,” Ucap Denis mengalihkan pembicaraan.

“Kenapa? Pasti kamu takut basah kuyup ya? Hujan memang gak cocok untuk seseorang yang sudah bahagia.”

“Maksudnya? Aku gak paham maksud kamu apa,”

“Hujan itu membawa kebahagiaan. Aku biasa hujan-hujanan untuk mengahpus kesedihan. Bagi mereka yang sudah merasa senang, mereka tak perlu hujan-hujanan,”

“Mereka hanya gak mau jatuh sakit. Itulah sebabnya mereka gak hujan-hujanan.”

Mereka tertawa bersama. Membahas tentang kehidupan masing-masing. Denis baru tahu, di balik keceriaan Rain, Rain menyimpan banyak kisah memilukan. Mulai dari keluarganya yang terkena tsunami, penyakit leukimianya, sampai ia yang harus hidup sebatangkara selama bertahun-tahun.

Semua seakan berubah. Hujan bukan lagi sebuah alarm. Hujan adalah sebuah kenangan indah dalam kesedihan. Kini Denis bisa menemui Rain tanpa perlu menunggu hujan turun. Ia bisa menemuinya kapan pun ia mau. Tapi tidak untuk hari ini dan seterusnya.

“Kamu tahu, dari awal aku lihat kamu seakan aku tahu kita bakal deket kayak gini. Hanya tinggal menunggu waktu saja.”

“Uhuk, uhuk,”

“Rain? Kamu kenapa? Hidung kamu mimisan. Kamu sakit? Ayo ke rumah sakit,”

“Uhuk.. Gak perlu. Aku udah sering kayak gini kok. Nanti juga baikan lagi,”
Rain bangkit dari duduknya untuk mengambil tisu untuk menghapus darahnya. Namun, baru selangkah ia maju, tubuhnya sudah terjatuh tak berdaya.

“Rain.. Bangun Rain. Bangun aku mohon,”

“Mungkin sekaranglah waktunya. Waktu untuk menemui keluargaku. Dialam sana.”

“Kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Lihatlah. Di luar hujan deras. Kamu suka hujan kan? Kamu mau hujan-hujanan bareng aku kan? Kamu harus semangat Rain,”
Rain tak menyahut. Tubuhnya lemas tak bernyawa. Dingin seperti hujan. Matanya terpejam untuk selamanya. Senyumnya bahkan tetap setia bertengger di wajahnya di akhir hidupnya.

“Rain.. Hiks.. Hiks,”

Gadis itu berhasil membuat laki-laki sekuat Denis menangis untuk kedua kalinya. Dan lagi-lagi hujan menjadi saksi kesedihannya. Menyamarkan suara tangisnya. Menghapus tiap tetes air matanya. Menemaninya di pemakaman. Pemakan tempat Rain dimakamkan. Hujan. Menyisakan kisah pilu dalam kehidupan seseorang. Hujan. Menjadi saksi bisu atas suatu kejadian yang tak mungkin dilupakan begitu saja. Hujan. Membawa pergi seseorang yang baru saja tiba.

The End

Cerpen Karangan: Dwi Wulandari
Facebook: Dwi Wulandari

Minggu, 20 Januari 2019

Mustika Village Sukamulya

Selamat datang di Perumahan Mustika Village Sukamulya

TYPE 27 60
TYPE 30 60
HARGA CASH 148.500.000 sd 223.000.000

ANGSURAN TYPE 27/60

* 10 THN 1.544.000/BLN
* 15 THN 1.149.000/BLN
* 20 THN     957.000/BLN
* 25 THN     846.000/BLN
BF 1.000.000
DP 1.500.000*

ANGSURAN TYPE 30/60

*   5 THN 3.929.000/BLN
* 10 THN 2.086.000/BLN
* 15 THN 1.474.000/BLN
* 20 THN 1.171.000/BLN
* 25 THN    991.000/BLN
BF 1.000.000
DP 2.000.000*

Peryaratan :

* BI cheking bagus
* Data KPR 
* Usia min 21 th
* Gaji pokok max 4.000.000 ( Syarat untuk pengambilan rumah subsidi )
* Belum pernah ambil KPR ( Syarat untuk pengambilan rumah subsidi )

Senin, 19 September 2016

Cerpen Ketika Senja

Disini kuberdiri. Menatap langit senja penuh rasa kalut. Sesekali mataku melirik kanan kiri mencari seseorang yang tengah ditunggu. Bebearapa nelayan menatapku heran.
"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya salah seorang nelayan.
"Menanti seseorang, pak.." Jawabku lembut.
"Tapi kamu sudah disini sejak pagi tadi. Apa kamu tidak lelah?"
Senyuman singkat dariku membuat nelayan itu mengerti dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Kembali kutatap lautan dengan ombak yang menderu. Tak ada kapal yang berlayar disana. Mungkin mas Santoso masih di Belitung. Pikirku.
Seakan tak kenal letih ku berdiri tanpa meneguk air setetespun. Menanti sang pujaan hati yang kabarnya akan segera pulang.
"Mbak Sandra.. Kami mendapat kabar bahwa Santoso ditangkap di Belitung." Tetiak seorang nelayan dengan nafas terengah engah.
"Ditangkap? Kenapa dia ditangkap?" Tanyaku mulai panik.
"Kudengar Santoso mengebom laut disana untuk mendapatkan banyak ikan" Jawabnya.
Ini tidak mungkin.. Aku mengenalnya.. Dia tidak mungkin melakukan hal itu.
Tak terasa sudah terbentuk sungai air mata dipipiku. Hatiku begetar. Jantung seolah berhenti memompa darah keseluruh tubuhku. Lututku lemas seakan tak kuat menopang berat tubuhku.
***
Setelah tahu mas Santoso tak akan datang, aku memutuskan untuk pulang. Beberapa nelayan membantuku karena tubuhku sangat lemas.
Dirumah, tak henti kupanjatkan do'a untuk suamiku. Meminta petunjuk kepada Sang Pencipta. Memohon belas kasih-NYA untuk suamiku. Yang kuinginkan hanyalah bisa bersama dengan mas Santoso.
Tok tok tok..
Suara ketukan pintu mengejutkanku. Ku segera berlari keluar dan berharap ada kabar baik tentang mas Santoso.
"Assalamu'alikum.."
Suara itu.. Suara yang yang sering membuatku tersenyum dipagi hari. Suara yang kunantikan sejak pagi tadi. Suara yang tak mungkin bisa kulupakan. Ya, itu suara mas santoso.
"Wa'alaikumsalam.. Mas Santoso? Kok mas bisa disini?" Tanyaku heran.
"Loh kok suami pulang bukannya disambut malah dipertanyakan.." Ucapnya.
"Tadi nelayan bilang kamu ditangkap di Belitung."
"Oh.. Itu.. Mereka hanya salah tangkap. Karena mas yang ada di TKP, jadi mas yang disangka pelakunya. Setelah diselidiki, merekapun menemukan pelaku sebenarnya dan mas dibebaskan." Jelasnya.
"Syukurlah.. Terima kasih Ya Allah.. Engkau sudah menunjukan kebenarannya pada mereka. Sandra tahu mas gak akan melakukan hal curanng untuk mendapatkan sesuatu."
Aku memeluknya erat seolah takut dia akan pergi lagi. Kejadian senja ini sudah cukup menguras air mata. Aku tak ingin hal semacam ini terjadi lagi. Aku tak ingin kehilangan orang yang paling kucintai..

Tamat

Cerpen Damn Doubt Moment

Adzan subuh sudah berkumandang. Sang jago berkokok indah. Membangunkan seorang gadis yang tengah terlena dalam dunia mimpi. Mimpi yang indah. Setan setan mulai berlomba membisiki gadis itu. ‘5 Menit lagi saja. Teruskan saja mimpi indahmu’, ‘tidur saja di kasur yang nyaman ini. Masih terlalu pagi untuk bangun’. Bukankah terdengar sungguh lembut kata katanya?
Fitri berusaha melawan rasa kantuknya. Melepaskan pelukan erat setan setan di kasurnya. Ia segera ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
“Heuh. Semoga hari ini akan lebih baik” Harapnya.
Hari ini adalah hari pertama ia bekerja. Dengan penuh percaya diri Fitri melangkah keluar rumah.
“Selamat pagi hari yang indah”
Ia melangkah dengan senyuman yang setia bertengger di wajahnya.
Gukk gukk
Terdengar suara seekor binatang dari belakang. Suara jelas tidak asing di telinga Fitri. Fitri langsung mengeluarkan jurus kaki seribu saat menyadari seekor anjing tengah menatapnya sinis.
“Mama.. Ada anjing.. Tolong” Teriak Fitri sambil berlari.
Orang orang hanya menatap aneh Fitri yang berlari sambil menenteng high heels dan mengangkat rok mininya.
Brukk..
Fitri menabrak seorang pria dengan tinggi badan yang lebih tinggi darinya. Sama seperti yang lainnya, pria itu menatap aneh Fitri dengan penampilan yang berantakan karena habis lari lari.
“Dikejar anjing?” Tebak pria itu.
Fitri menganggukan kepalanya. Itu membuat si pria tertawa meremehkan.
“Lain kali. Jangan pakai baju ini lagi” Pria itu masuk ke mobil dan meninggalkan Fitri.
Fitri segera memeriksa bajunya. Mencari sesuatu yang salah dari baju tersebut. Dan ia menemukan gambar tulang di bagian punggungnya.
“Mama.. Kenapa bawain aku baju ini sih” Fitri memukuli kepalanya sendiri.
Di depan kantor Fitri menghela nafas untuk mengurangi kepanikannya.
“Mbak Fitri sudah datang? Mari ikut saya?”
“Iya, mbak”
Fitri dibawa ke sebuah ruangan yang sepertinya itu ruangan bosnya. Fitri terkejut bukan main melihat siapa yang ada di kursi bos di kantor itu.
“Kamu?” Fitei membelakan matanya terkejut.
“Jadi kamu Office Girl baru di kantor ini?”
“Jangan sembarangan. Aku ini staff di kantor ini”
“Staff?”
“Maaf mbak Fitri. Tapi jelas jelas mbak mengisi formulir untuk lowongan Office girl di kantor ini. Bukan formulir untuk lowongan staff”
“What?”
Fitri tidak tahu harus apa sekarang. Ia merasa sangat malu atas kejadian ini.
“Aku.. Aku mengundurkan diri. Permisi” Fitri segera pergi dari kantor dengan wajah merah merona.
Fitri berjalan gontai di trotoar kota Bogor. Sesekali bunyi klakson mengagetkannya. Tapi ia tak perduli.
Tiiinnn
Seluruh pakaian Fitri basah kuyup karena cipratan air dari jalan.
“Menyebalkan.”
“Maafkan aku. Aku tidak sengaja”
“Kamu lagi?”
“Hey. Kau gadis yang tadi kan? Kau ini lucu sekali. Ada ada saja”
“Hey tupai. Berhenti kau.”
“Alex. Namaku Alex. Bukan tupai”
“matamu terlihat seperti tupai. Jadi kau lebih cocok dipanggil tupai.”
“Ada apa?”
“Kau harus tanggung jawab. Pakaianku jadi basah kuyup”
“Oh itu. Masuklah ke dalam mobil”
Fitri hanya terdiam.
“Aku bukan orang jahat”
Fitri pun mengikuti instruksinya.
Di mall. Fitri terlihat aneh dengan pakaiannya. Seketika ia menjadi pusat perhatia beberapa pasang mata
“Ini. Pakailah baju ini. Cepat sana”
Fitri segera menuju ruang ganti dan mengganti pakaiannya. Untung hanya pakaiannya yang basah. Jadi Fitri tidak perlu menanggung malu karena membeli pakaian dalam.
Saat Fitri keluar dari ruang ganti, Alex tertawa geli melihat penampilan Fitri.
“Apa yang salah?”
“Kau ini.. Pakailah rompi di luar baju. Bukannya di dalam”.
Oh.. Damn doubt moment. Fitri benar benar malu. Setiap ia melakukan kebodohan, Alex selalu melihatnya. Fitri segera membetulkan bajunya dan pergi.
“Tunggu sebentar” Cegah Alex
“Kau ini gadis yang sangat lucu. Aku suka melihatmu. Karena aku tahu kau butuh pekerjaan, aku punya pekerjaan untukmu”
“Aku tak mau jadi badut”
“Bukan itu. Aku mau kau jadi asisten pribadiku. Hidupku selalu kelam. Saat aku melihatmu, aku merasa senang”
Pipi Fitri mulai merona. Itu membuat Alex ingin tertawa.
“Baiklah. Aku mau”
The End

Cerpen The Old Tree

Apa yang bisa kulakukan? Aku hanyalah sebuah pohon tua yang kesepian. Tak seorang manusiapun berani mendekatiku. Walau sebenarnya akupun merasa takut dengan manusia manusia kecil yang suka bermain didekatku. Mereka sama sekali tidak jahat. Hanya saja, mereka membuatku teringat kejadian 5 tahun silam. Kejadian yang membuatku ditakuti oleh manusia.
***
Andri. Manusia itu adalah temanku satu satunya. Dia selalu kesini untuk bermain beramaku. Dia berayun. Dia memeluku. Dia memberiku minum. Dia sangat menyayangiku walau aku bukan miliknya. Akupun sangat menyayanginya. Dia menuliskan sebuah nama ditubuhku. Castor. Itulah nama yang ia berikan padaku. Kurasa dia sangat menyukai berang berang hingga memberiku nama itu.
"Hey Castor. Kau terlihat sangat besar sekarang. Aku berharap aku bisa tumbuh cepat seperti dirimu. Mereka selalu melarangku untuk melakukan sesuatu yang besar" Andri selalu bercerita banyak hal padaku.
"Hari ini, aku akan menunjukan bahwa aku cukup besar untuk melakukan hal besar"
Hal besar? Apa yang akan dilakukan manusia kecil ini. Dia selalu membuatku bingung.
"Jangan bergerak" Ujarnya.
Apa ini? Kenapa dia menaikiku? Ini berbahaya. Dia bisa jatuh. Dahanku cukup tinggi untuk manusia seusianya. Cepat turun. Aku tak mau kau kenapa napa.
"Ibu..." Teriaknya.
Benar saja. Dia terjatuh. Dia tersungkur tepat dihadapanku. Tapi aku tak bisa menolongnya. Aku tak bisa menggapainya. Tunggu. Perutnya berdarah? Apa dahanku menusuknya? Andri. Bangunlah..
"Andri. Ini ibu sayang. Ayo cepat ikut ibu"
Wanita itu membawa Andri pergi. Sepertinya Andri akan dirawat dirumah sakit. Oh Tuhan. Selamatkan manusia kecil itu.
Lama sekali aku menunggu kabar tentang Andri. Kenapa Andri belum juga kesini.
"Hiks hiks.. Andri.. " Tangis Seorang wanita.
Bukankah itu ibunya Andri? Mengapa dia menangis? Dan mengapa di membawa bunga bunga? Apa yang terjadi?
"Maafin ibu, nak. Ibu gak bisa jaga kamu dengan baik"
"Sudahlah. Aku yakin anak kita akan sedih melihatmu menangis seperti ini. Kita do'akan saja ya"
Apa maksud mereka? Dan kenapa mereka menaburiku bunga? Apa, apa mungkin Andri sudah pergi jauh? Tidak. Tidak mungkin. Kenapa jadi seperti ini?
***
Kejadian itu selalu membuatku takut. Takut akan ada manusia lain yang bernasib sama seperti Andri. Ini salahku. Harusnya aku bisa mencegahnya. Tapi apa ada. Sang anginlah yang selama ini menggerakanku.
Aku sudah terlalu tua. Dahanku tak lagi kuat menopang beban. Aku hanya bisa pasrah saat sang petir membuatku tombang. Dan manusia mengambil dahanku untuk memenuhi kebutuhan hidup.
The End

Cerpen Tentang Ayah

Hanya satu hal yang kutahu. Orang tua pasti menyayangi anaknya. Baik itu ibu maupun ayah. Mungkin hanya cara mereka menunjukan kasih sayangnya saja yang berbeda. Seperti ayah yang mencari uang untuk membeli beras. Seperti ibu yang memasak untuk makan anaknya. Apa yang anak lihat? Ibu lebih perhatian daripada ayah. Seperti ayah melarang anaknya pergi malam. Seperti ibu yang menyuruh anaknya istirahat saat malam. Apa yang anak lihat? Ibu lebih penuh dengan kasih sayang.
Saat toga ini membalut tubuh sang anak, orang tua melihat dengan senyuman indah diwajahna. Saat acara berkahir sang anak berlari menuju orang tuanya. Ia menangis haru sambil memeluk ibunya. Ayahnya tersenyum simpul memendam rasa cemburu.
"Ibu.. Aku lulus.. Ini semua karena do'a ibu. Terima kasih, bu sudah mendo'akankku" Ucap sang anak.
"Ibu dan ayah senang kamu bisa lulus lebih awal. Ibu akan selalu mendo'akanmu" Sahut sang ibu.
***
Saat sang anak mulai mengalami indahnya jatuh cinta, ia mulai sering keluar rumah untuk pergi bersama sang kekasih. Sesekali ayah melarangnya pergi.
"Ini sudah malam. Hanya perempuan nakal yang keluar selarut ini. Cepat masuk kekamar dan tidur" Teriak ayah.
Sang anak berlari menuju kamar dan membanting pintu. Saat melihat itu, sang ayah menahan tangis. Dia hanya tidak ingin anaknya dipandang buruk oleh orang orang diluar sana.
Saat itu sang ibu kekamar menghampiri anaknya. Mengelus lembut rambut sang anak. Memeluk sang anak untuk menenangkan hatinya.
"Lebih baik kamu tidur.. Ini sudah larut. Besok pagi kamu harus bangun awal karena kamu harus bekerja. Jangan sampai kamu kelelahan." Ucap sang ibu lembut.
Dibalik pintu, sang ayah mendengarkan apa yang isteri dan anaknya bicarakan. Ia tersenyum bahagia saat ia mendengar bahwa sang anak mau menurut dan tidak keluar.
***
Saat pagi tiba, keluarga itu berkumpul untuk sarapan pagi. Sang anak memasang wajah masam saat ayah menatapnya. Hati ayah lirih. Jiwanya menjerit. Ia mennahan diri agar tidak menangis.
"Aku berangkat dulu ya, bu. Assalamu'alaikum.." Ucap sang anak sambil mencium tangan sang ibu.
Ayah memejamkan mata menahan rasa sakit dalam hatinya. Saat sang anak bahkan tak menoleh kearahnya. Ia mengehentikan sarapannya dengan alasan ia sudah telat berangkat bekerja. Ia tidak mungkin bisa makan saat sang anak sedang bersedih.
***
Seminggu setelahnya sang anak membawa seorang pria kerumahnya.
"Ibu.. Kenalin ini kekasihku. Kami mau minta restumu untuk menikah." Ucap sang anak.
Ayah menatap tajam pria itu mencoba mengenali pria itu. Apa dia pria yang tepat untuk menggantikan posisinya.
"Ibu sih terserah kamu saja. Kalau kamu merasa cocok, ibu sih setuju saja" Jawab sang ibu.
***
Sebulan setelahnya, sang anak menikah dengan pria pilihannya. Ayah berdo'a pada sang Tuhan anaknya tidak salah memilih penggantinya.
"Ayah.. Ibu.. Setelah menikah, aku akan pindah dari rumah dan ikut dengan suamiku" Ucap sang anak.
Ayah tersenyum lirih tak kuat berpisah dengan sang buah hati. Saat sang anak pamit, ayah tak lagi sanggup menahan tangisnya. Ia memeluk erat anaknya. Seakan takkan bisa bertemu lagi.
"Ayah harap kamu bisa selalu bahagia bersamanya.. Dan kamu.. Saya mohon jaga baik baik anak saya. Jangan pernah menyakitinya" Ucap sang ayah pada anak dan menantunya.
TAMAT

Selasa, 03 Mei 2016

Cerpen Little Monster




Puluhan polisi berdatangan ke rumah Sinta. Gadis manis dengan mata sipit yang baru saja kehilangan ayah dan ibu tercinta. Kedua orang tuanya tewas terbunuh dikamarnya. Diding putih kamar orang tuanya penuh dengan noda darah. Kini, dirumah itu hanya tersisa dia dan kakaknya. Pembantunya tewas sebulan lalu karena dibunuh.

"Kak Yuda.. Sinta takut. Gimana kalo monster pembunuh itu ngebunuh Sinta?"

"Kamu gak usah takut. Kita akan pindah kerumah bibi. Monster itu tidak akan menemukan kita"

Yuda memeluk Sinta untuk menenangkannya. Sinta terlihat sangat ketakutan karena kejadian ini.

***

Rumah bibi, menjadi tempat tinggal merea sekarang. Bibinya sangat baik. Dia yakin bibinya akan melindunginya dan kakaknya.

"Sinta mau tidur sama kakak. Sinta takut sendirian"

"Yaudah. Kamu tidur sama kakak. Kakak juga gak mau kamu kenapa napa"

Mereka mulai membereskan tempat tidurnya. Yuda masih memikirkan kata kata Sinta yang bilang orang tua mereka dibunuh seekor monster. Itu mustahil. Mungkin Sinta hanya ketakutan.

"Kak.. Ayo main.."

"Iya.. Sebentar"

Mereka pergi kehalaman depan untuk bermain. Tempat ini cukup luas untuk bermain.

"Sinta. Kakak mau tanya. Apa bener kamu melihat monster yang ngebunuh ayah dan ibu?"

"Iya. Monster itu ada dua. Mereka mau ngebunuh Sinta. Sinta berhasil membunuh keduanya. Sinta juga membunuh monster pembunuh Bi Ita. Monsternya banyak. Sinta takut. Gimana kalo ada monter lain ngebunuh Sinta"

Sinta membunuh monster? Ini aneh. Pikir sang kakak.

***

Tirai hari telah tertutup. Hanya lampu rumah dan bulan yang menerangi tempat ini. Rumah bibi sangat terpencil. Dia hanya memiliki sedikit tetangga.

Krek krekk
Terdengar suara suara aneh dari dapur. Mengagetkan Yuda yang sedang tertidur. Yuda segera memeriksa keadaan Sinta. Tapi nihil. Sinta tidak ada ditempat tidur.

"Sinta? Kamu dimana dek. Jangan bikin kakak khawatir." Yuda berjalan ragu menuju dapur.

Jantungnya terus berdegup kencang ketika mendengar teriakan bibinya.

"Si-sinta? Apa yang kau lakukan?"

Yuda terkejut meihat Sinta memegang pisau berlumuran darah dan  tubuh bibinya sudah tidak bernyawa.

"Monster ini mau membunuh Sinta, kak. Sinta takut" Sinta menunjuk jasad bibinya.

Yuda mulai sadar, tidak ada monster yang membunuh orang tuanya. Justru adiknyalah pembunuh itu. Sinta melihat orang tua dan bibinya seperti melihat monster. Sebab itulah Sinta membunuh mereka. Sinta hanya berdelusi. Yuda membatu. Tubuhnya sulit digerakan. Dia tidak percaya apa yang ia lihat ini.

"Kak?"

Yuda memeluk Sinta tanpa rasa takut. Ia membuang pisau ditangan adiknya itu.

"Besok, ikut kakak kesuatu tempat ya? Disana kamu akan aman dari segala monster."

"Kita akan tinggal disana?"

"Kamu. Kakak harus mengusir monster itu dari keluarga kita"

Yuda berencana membawa Sinta ke rumah sakit jiwa. Ia tidak ingin Sinta membunuh orang lagi. Karena hanya Sintalah yang ia miliki. Keluarganya sudah tewas terbunuh. Dan kini dia juga akan berpisah dari adiknya. Setidaknya ia masih bisa menemuinya setiap hari.

The End