Cari...

Selasa, 03 Mei 2016

Cerpen Little Monster




Puluhan polisi berdatangan ke rumah Sinta. Gadis manis dengan mata sipit yang baru saja kehilangan ayah dan ibu tercinta. Kedua orang tuanya tewas terbunuh dikamarnya. Diding putih kamar orang tuanya penuh dengan noda darah. Kini, dirumah itu hanya tersisa dia dan kakaknya. Pembantunya tewas sebulan lalu karena dibunuh.

"Kak Yuda.. Sinta takut. Gimana kalo monster pembunuh itu ngebunuh Sinta?"

"Kamu gak usah takut. Kita akan pindah kerumah bibi. Monster itu tidak akan menemukan kita"

Yuda memeluk Sinta untuk menenangkannya. Sinta terlihat sangat ketakutan karena kejadian ini.

***

Rumah bibi, menjadi tempat tinggal merea sekarang. Bibinya sangat baik. Dia yakin bibinya akan melindunginya dan kakaknya.

"Sinta mau tidur sama kakak. Sinta takut sendirian"

"Yaudah. Kamu tidur sama kakak. Kakak juga gak mau kamu kenapa napa"

Mereka mulai membereskan tempat tidurnya. Yuda masih memikirkan kata kata Sinta yang bilang orang tua mereka dibunuh seekor monster. Itu mustahil. Mungkin Sinta hanya ketakutan.

"Kak.. Ayo main.."

"Iya.. Sebentar"

Mereka pergi kehalaman depan untuk bermain. Tempat ini cukup luas untuk bermain.

"Sinta. Kakak mau tanya. Apa bener kamu melihat monster yang ngebunuh ayah dan ibu?"

"Iya. Monster itu ada dua. Mereka mau ngebunuh Sinta. Sinta berhasil membunuh keduanya. Sinta juga membunuh monster pembunuh Bi Ita. Monsternya banyak. Sinta takut. Gimana kalo ada monter lain ngebunuh Sinta"

Sinta membunuh monster? Ini aneh. Pikir sang kakak.

***

Tirai hari telah tertutup. Hanya lampu rumah dan bulan yang menerangi tempat ini. Rumah bibi sangat terpencil. Dia hanya memiliki sedikit tetangga.

Krek krekk
Terdengar suara suara aneh dari dapur. Mengagetkan Yuda yang sedang tertidur. Yuda segera memeriksa keadaan Sinta. Tapi nihil. Sinta tidak ada ditempat tidur.

"Sinta? Kamu dimana dek. Jangan bikin kakak khawatir." Yuda berjalan ragu menuju dapur.

Jantungnya terus berdegup kencang ketika mendengar teriakan bibinya.

"Si-sinta? Apa yang kau lakukan?"

Yuda terkejut meihat Sinta memegang pisau berlumuran darah dan  tubuh bibinya sudah tidak bernyawa.

"Monster ini mau membunuh Sinta, kak. Sinta takut" Sinta menunjuk jasad bibinya.

Yuda mulai sadar, tidak ada monster yang membunuh orang tuanya. Justru adiknyalah pembunuh itu. Sinta melihat orang tua dan bibinya seperti melihat monster. Sebab itulah Sinta membunuh mereka. Sinta hanya berdelusi. Yuda membatu. Tubuhnya sulit digerakan. Dia tidak percaya apa yang ia lihat ini.

"Kak?"

Yuda memeluk Sinta tanpa rasa takut. Ia membuang pisau ditangan adiknya itu.

"Besok, ikut kakak kesuatu tempat ya? Disana kamu akan aman dari segala monster."

"Kita akan tinggal disana?"

"Kamu. Kakak harus mengusir monster itu dari keluarga kita"

Yuda berencana membawa Sinta ke rumah sakit jiwa. Ia tidak ingin Sinta membunuh orang lagi. Karena hanya Sintalah yang ia miliki. Keluarganya sudah tewas terbunuh. Dan kini dia juga akan berpisah dari adiknya. Setidaknya ia masih bisa menemuinya setiap hari.

The End

Cerpen Inilah Aku



"Ibu. Mengapa mereka membenciku? Apa karena aku ini tidak bisa melihat seperti mereka?" Ujar seprang gadis kecil.

"Percayalah, Sarah. Mereka hanya iri kepadamu. Jadi mereka berusaha menjatuhkanmu. Agar mereka tak memiliki saingan seberat dirimu. Kamu harus buktikan pada mereka, kamu itu anak yang kuat dan gak akan nyerah" Jawab wanita yang berada didepannya.

"Benarkah? Baiklah. Kalo gitu Sarah akan jadi orang yang hebat."

"Tentu saja. Ibu yakin kamu bisa"

Wanita itupun melanjutkan pekerjaan. Memasukan sampah demi sampah kedalam keranjang ditengah teriknya kota Jakarta. Melakukannya tanpa rasa malu ataupun gengsi. Beruasaha mendapatkan sesuap nasi sambil menjaga anak tunggalnya. Keringat, bau busuk sampah, hinaan, itu hal yang biasa. Tanpa seorang suami yang membantu.

"Ibu rasa ini sudah cukup banyak. Ayo kita pulang" Ujar sang ibu.

"Iya, bu. Sarah sudah sangat lapar"

Sang ibu termenung mendengarnya. Pasalnya dia bahkan tak punya uang sepeserpun untuk membeli sebungkus nasi atau air minum.
"Ibu.. Mengapa ibu dia saja? Apa ibu kelelahan? Ibu harus makan yang banyak supaya ibu jadi semangat lagi"

Senyuman itu. Senyuman gadis itu justru membuat Bu Rasih tak lagi dapat membendung air matanya.

"Iya Sarah. Kita pulang sekarang ya?"

"Kenapa suara ibu serak? Ibu sakit?"

"Ibu hanya haus. Kita harus cepat pulang agar bisa minum"

***

Sesampainya dirumah, ibu Rasih semakin pusing harus memberi makan apa anaknya. Hanya ada roti kedaluarsa dan air gentong didapur.

"Haruskah aku memberikannya pada Sarah? Aku takut ia sakit perut. Jika tidak ku berikan, dia tidak bisa makan. Ya Tuhan.. Bantulah hambamu ini"

Bu Rasih sangat terpaksa memberikan makan itu pada Sarah. Dia tidak ingin anaknya bersedih.

"Sarah. Ibu hanya punya roti. Gak pa apa kan?"

"Gak apa apa kok, bu. Bisa makan bareng ibu aja Sarah udah seneng. Ayo, ibu juga makan"

"Iya, ini ibu makan"

Hati bu Rasih terenyuh mendengar kata kata Sarah. Terkadang ia merasa beruntung Sarah tidak bisa melihat. Jadi Sarah takkan tau ibunya tidak makan.
"Gimana, bu. Tubuh ibu sudah baikan? Ibu harus minum supaya ibu gak serak lagi."

"Iya Sarah. Rasanya ibu kenyang sekali"

Yang bu Rasih inginkan hanyalah kebahagiaan Sarah. Bukan harta berlimpah ataupun pakaian mewah. Melihat Sarah tersenyum saja bu Rasih sudah senang. Meski harus berpuasa berhari hari.

***

Hari kemarin telah berlalu. Hanya kesedihan yang masih setia menemani keluarga ini. Hari ini mereka tidak bekerja. Ibu Rasih sakit parah. Dia tidak makan selama seminggu. Tubuhnya lemah tak berdaya. Dia tak punya cukup uang untuk kerumah sakit.

"Ibu harua kuat. Sarah sayang ibu. Ibu jangan tinggalin Sarah ya"

Ucapan penyemangat dari mulut mungil Sarah selalu menjadi semangat untuk bu Rasih.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

"Biar Sarah yang buka pintunya."

Sarah sudah hafal tata letak rumah ini. Dia bisa membukakan pintu tanpa menabrak apapun.

"Sarah..? Anak Ayah" Ucap pria dibalik pintu

"Ayah?" Sarah masih mengingat dengan jelas suara ayahnya.

"Ibu.. Ayah pulang, bu. Ayah pulang."
"Mana ibunya?"

"Ibu dikamar. Sedang sakit. Ayah ayo masuk"

Pak Fino langsung masuk untuk melihat keadaan bu Rasih.

"Ibu? Ini ayah bu. Ayah udah pulang. Ayah juga udah jadi orang sukses. Kita akan tinggal dirumah baru yang lebih bagus. Ayah juga sudah punya uang untuk operasi Sarah. Ada orang dermawan yang memberikan ayah semua ini. Juga ada seorang gadia yang mau mendonorkan matanya untuk Sarah"

"Alhamdulillah"

***

10 Tahun sudah berlalu. Sarah, gadis kecil yang selau dijauhi teman temannya kini sudah tumbuh besar. Dia menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Mengobati tanpa meminta bayaran. Seorang dokter berhati mulia.

"ini, dok. Saya hanya punya uang 20 ribu."

"Gak usah. Uang ini ibu pegang aja untuk makan anak ibu. Saya ngobatin ibu bukan karena uang. Tapi saya ingin semua warga disini selalu dalamkeadaan sehat"

"Terima kasih ya, dok. Terima kasih banyak.."

"Iya, bu.."


"Ibu. Lihatlah. Sarah sudah menjadi orang sukses. Sarah membuktikan pada mereka bahwa Sarah tidak mudah disingkirkan. Sarah tidak pernah menyerah pada apapun. Sarah harap, ibu bahagia dialam sana. Sarah janji, Sarah akan selalu jaga Ayah"

The End