Cari...

Minggu, 27 Januari 2019

Cerpen Dibalik Hujan

Hujan. Jutaan anugerah yang turun dari langit. Hujan. Hapuskan air mata dalam kesedihan. Hujan. Mempertemukan beberapa insan dalam perteduhan. Hujan. Menghadirkan kebahagiaan dalam rasa gersang. Hujan. Sajikan alunan musik penyejuk hati.

Malam itu. Orang-orang di jalan berlari mencari tempat perteduhan agar tidak kehujanan. Hanya ada satu orang yang tidak berlari, tapi justru menikmati hujan. Orang dengan mata indah yang mencuri perhatian setiap pemuda yang melihatnya. Tanpa terkecuali Denis. Pemuda tampan dari Universitas Negeri Jakarta ini sengaja selalu ke stasiun setiap hujan hanya untuk melihat sang gadis pujaan. Dia tidak berani menghampiri gadis tersebut. Dia terlalu canggung untuk melakukannya.

“Kapan ya aku bisa berkenalan dengannya. Aku tidak mengenalnya, tapi dia berhasil membuatku tak bisa melupakannya. Andai waktu itu segera tiba. Waktu dimana kita bisa bersama.” Ucap Denis yang entah ditujukan pada siapa.

Siang ini kota Jakarta diguyur hujan. Cukup deras untuk menghapus tanda pejalan kaki dan kendaraan di jalan. Suara indah rintik hujan seolah menjadi alarm bagi Denis untuk menemui gadis pujaan. Denis segera berlari menuju stasiun dengan harapan bisa bertemu gadis dengan mata indah itu.

“Di mana gadis itu? Kenapa tidak ada? Apa dia hujan-hujanan di tempat lain? Atau dia sedang tertidur?” Lagi-lagi Denis bicara sendiri.

“Pak, Pak.. Tahu gadis yang biasa hujan-hujanan di sini ke mana gak, Pak?”

“Anggraini maksud kamu? Dia di rum
ah sakit.”

“Anggraini? Rumah sakit mana ya, Pak?”

“Di rumah sakit Mutiara Bakti”

“Terima kasih, pak atas informasinya. Maaf ganggu.”

Denis segera berlari menuju rumah sakit yang telah diberitahukan oleh pria yang ia temui tadi. Menerobos tirai hujan tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Sampai hampir saja ia tertabrak sebuah motor. Sesampainya di rumah sakit, Denis diusir oleh satpam karena pakaiannya yang basah.

“Saya mohon, Pak. Saya harus menemui seseorang di dalam sana,” Melas Denis.

“Gak bisa, dek. Sebaiknya kamu pulang dan ganti pakaian. Kamu bisa sakit kalau pakai pakaian basah,”

“Saya mohon, Pak”

“Gak bisa, dek. Cepat sana pulang.”

Seakan tak ada asa yang tersisa untuk menghibur hati tulus seorang Denis. Tak ada yang bisa mengerti dirinya sebaik dirinya sendiri. Denis terus berjalan dengan tatapan kosong di tengah derasnya hujan siang itu. Membiarkan tetes hujan menyentuh lembut wajahnya. Menghapus air mata yang tak bisa berhenti mengalir.

“Awas, Mas. Ada mobil..”

Tiinnn…

Telinganya tertutup. Mulutnya terbungkam. Tak ada yang bisa ia lakukan. Seakan jiwanya telah mati.

“Mas, Mas.. Bangun Mas.”

Tubuhnya beku. Hanya dinginnya tubuh seseorang yang mendekapnya yang ia rasakan. Tangan lembut menyentuh pipi tirus seorang Denis.

“Eungh..” Lenguh Denis saat sang mentari menerobos masuk dan mengganggu pandangannya.

“Kamu sudah sadar? Panasmu juga sudah turun. Syukurlah,”

Denis menatap heran seorang gadis di hadapannya. Gadis yang membuatnya seperti ini kini berada tepat di hadapannya.

“Saya Anggraini. Panggil saja Rain. Saya membawamu ke sini karena saya gak tahu di mana rumahmu. Saya juga gak mungkin membiarkanmu pingsan di jalan,”

Tak ada yang ke luar dari mulut Denis. Padangannya terfokus pada sosok di depannya. Membuat Rain merasa sedikit risih.

“Kamu kenapa?”

Lagi-lagi Denis tidak menyahut melainkan memeluk Rain. Membuat Rain semakin takut dengan Denis.

“Kamu kenapa bisa ada di sini? Bukannya kamu masuk rumah sakit?”

“Saya gak apa-apa. Saya emang dari rumah sakit. Tapi bukan karena saya sakit. Saya ke sana untuk menjenguk seorang wanita paruh baya yang kehilangan keluarganya.”

Denis merasa malu pada dirinya sendiri. Dia menjadi gila hanya karena hal yang tidak pernah terjadi.

“Oh ya. Aku Denis. Aku sering melihatmu hujan-hujanan di dekat stasiun sana. Tapi aku gak berani menghampirimu. Hehe,” Ucap Denis mengalihkan pembicaraan.

“Kenapa? Pasti kamu takut basah kuyup ya? Hujan memang gak cocok untuk seseorang yang sudah bahagia.”

“Maksudnya? Aku gak paham maksud kamu apa,”

“Hujan itu membawa kebahagiaan. Aku biasa hujan-hujanan untuk mengahpus kesedihan. Bagi mereka yang sudah merasa senang, mereka tak perlu hujan-hujanan,”

“Mereka hanya gak mau jatuh sakit. Itulah sebabnya mereka gak hujan-hujanan.”

Mereka tertawa bersama. Membahas tentang kehidupan masing-masing. Denis baru tahu, di balik keceriaan Rain, Rain menyimpan banyak kisah memilukan. Mulai dari keluarganya yang terkena tsunami, penyakit leukimianya, sampai ia yang harus hidup sebatangkara selama bertahun-tahun.

Semua seakan berubah. Hujan bukan lagi sebuah alarm. Hujan adalah sebuah kenangan indah dalam kesedihan. Kini Denis bisa menemui Rain tanpa perlu menunggu hujan turun. Ia bisa menemuinya kapan pun ia mau. Tapi tidak untuk hari ini dan seterusnya.

“Kamu tahu, dari awal aku lihat kamu seakan aku tahu kita bakal deket kayak gini. Hanya tinggal menunggu waktu saja.”

“Uhuk, uhuk,”

“Rain? Kamu kenapa? Hidung kamu mimisan. Kamu sakit? Ayo ke rumah sakit,”

“Uhuk.. Gak perlu. Aku udah sering kayak gini kok. Nanti juga baikan lagi,”
Rain bangkit dari duduknya untuk mengambil tisu untuk menghapus darahnya. Namun, baru selangkah ia maju, tubuhnya sudah terjatuh tak berdaya.

“Rain.. Bangun Rain. Bangun aku mohon,”

“Mungkin sekaranglah waktunya. Waktu untuk menemui keluargaku. Dialam sana.”

“Kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Lihatlah. Di luar hujan deras. Kamu suka hujan kan? Kamu mau hujan-hujanan bareng aku kan? Kamu harus semangat Rain,”
Rain tak menyahut. Tubuhnya lemas tak bernyawa. Dingin seperti hujan. Matanya terpejam untuk selamanya. Senyumnya bahkan tetap setia bertengger di wajahnya di akhir hidupnya.

“Rain.. Hiks.. Hiks,”

Gadis itu berhasil membuat laki-laki sekuat Denis menangis untuk kedua kalinya. Dan lagi-lagi hujan menjadi saksi kesedihannya. Menyamarkan suara tangisnya. Menghapus tiap tetes air matanya. Menemaninya di pemakaman. Pemakan tempat Rain dimakamkan. Hujan. Menyisakan kisah pilu dalam kehidupan seseorang. Hujan. Menjadi saksi bisu atas suatu kejadian yang tak mungkin dilupakan begitu saja. Hujan. Membawa pergi seseorang yang baru saja tiba.

The End

Cerpen Karangan: Dwi Wulandari
Facebook: Dwi Wulandari

Minggu, 20 Januari 2019

Mustika Village Sukamulya

Selamat datang di Perumahan Mustika Village Sukamulya

TYPE 27 60
TYPE 30 60
HARGA CASH 148.500.000 sd 223.000.000

ANGSURAN TYPE 27/60

* 10 THN 1.544.000/BLN
* 15 THN 1.149.000/BLN
* 20 THN     957.000/BLN
* 25 THN     846.000/BLN
BF 1.000.000
DP 1.500.000*

ANGSURAN TYPE 30/60

*   5 THN 3.929.000/BLN
* 10 THN 2.086.000/BLN
* 15 THN 1.474.000/BLN
* 20 THN 1.171.000/BLN
* 25 THN    991.000/BLN
BF 1.000.000
DP 2.000.000*

Peryaratan :

* BI cheking bagus
* Data KPR 
* Usia min 21 th
* Gaji pokok max 4.000.000 ( Syarat untuk pengambilan rumah subsidi )
* Belum pernah ambil KPR ( Syarat untuk pengambilan rumah subsidi )